Pesma.ums.ac.id – Pesantren Mahasiswa (Pesma) Internasional KH Mas Mansur Universitas Muhammadiyah Surakarta menyelenggarakan Kajian Semarak Ramadan Pesma (SRP) 2023 dengan tema “Antara Aku, Kamu, dan Lailaitul Qadar” yang disampaikan oleh Ustadz Muhammad Subhi A, Lc., M.H., yang diselenggarakan secara luring di Masjid Pesma KH. Mas Mansur pada Sabtu (15/03).
Dalam kesempatan itu, Ustadz Subhi mengungkapkan kajian pada hari ini ngobrol santai saja.
“Berbicara malam lailatul qadar, kita coba pahami artinya terlebih dahulu. Laila artinya malam, dan qadar artinya takdir. Sehingga ulama memiliki beberapa pemaknaan. Paling tidak ada 4 pemaknaan, tetapi kalau di Indonesia hanya kita kenal hanya 3. Makna pertama lailatul qadar dimaknai sebagai nalam yang ditentukan takbir setiap hamba. Kedua, lailatul qadar adalah malam turunnya Al-Qur’an dan ketiga Lailatul qadar dimaknai sebagai malam yang sempit,” paparnya.
Menurutnya, kenapa dimaknai malam yang sempit karena meskipun masjidnya kosong, tidak hanya jamaahnya saja, tetapi malaikat turun dan malaikat Jibril pun ikut turun.
“Ada beberapa catatan, pertama bahwa ada 1000 bulan. Perlu dicatat bahwa 1000 bulan itu tidak terbatas dalam hitungan bulan. Tetapi jumlah yang banyak. Kedua, titik beratnya bukan dari jumlahnya, tapi dalam kualitas ketaatannya,” ungkapnya.
Dia menyampaikan, mengapa Allah SWT menyembunyikan kapan datangnya malam lailatul qodar itu agar umat Islam, bisa tetap stabil dan terus berlomba lomba dalam melakukan ibadah dan amalannya di bulan Ramadan.
“Hal yang terpenting adalah ibadah saja yang benar, kita perlu mencari lailatul qodar. Namanya mencari, berarti tidak menunggu. Maka ketika kita mencari, berarti harus dipersiapkan,” tegas Ustadz Subhi.
Ibaratnya, lanjutnya, keutamaan lailatul qadar itu seperti hujan. Sehingga pasti semua orang merasakannya, hanya yang membedakan adalah wadahnya. Jadi seberapa banyak yang kita dapatkan tergantung wadah yang kita persiapkan.
“Lalu bagaimana dengan orang yang sedang haidh atau datang bulan? . Perempuan yang sedang berhalangan, bisa melakukan amalan lain di bulan Ramadan,” ujarnya.
Pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan, tambahnya, harus dipersipkan dengan maksimal. Ibadah lebih dikencengin lagi.
“Kalau kita ngga bisa menyambut Ramadhan dengan baik, ya kita harus melepas Ramadan dengan baik. Optimalkan bulan Ramadan, walaupun godaaannya semakin berat. Paling tidak menerima Ramadhan, janga main-main dengan waktu karena kita tidak bisa menjadi penetu,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pesma, Muamaroh Ph.D., mengucapkan terima kasih kepada narasumber yang telah membersamai.
“Lailatul qadar merupakan bukti puasa berhasil adalah sesudahnya bulan Ramadan. Apakah makin bersungguh-sunggu atau malah lengah. Diusahakan pada bulan Ramadan, bisa mengajar maksimal, khatam maksimal dan ibadah yang maksimal,” ungkapnya.
Direktur Pesma menyampaikan di bulan Ramadan harus memperbanyak dzikir, taubat, karena tidak pernah tau diberi kesempatan lagi untuk bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Khususnya yang masih di Pesma. Mengingat dulu pertama kali diresmikan. Mahasantri itu malah ingin lama-lama an di masjid, kalau pulang lebih dulu itu malu. [Fika/Pesma]